Halaman



Kamis, 12 Juli 2012

6 Alasan Orang Jatuh Cinta pada Buku

Buku bisa membuat orang-orang kecanduan pada buku karena beberapa kelebihan buku dibandingkan dengan televisi radio atau internet. Berikut ini beberapa alasan yang membuat orang-orang (termasuk saya) jatuh cinta dan kecanduan pada buku.
1. Buku Selalu up to date. buku dari zaman Mesir kunopun sampai sekarang masih diocari orang. bagaimana tidak, buku selalu menyimpan informasi akurat, meskipun sudah berumur ratusan tahun. Bahkan semakin tua uisa sebuah buku, dia adalah benda yang semakin dicari untuk mengetahui data peradapan yang ada ketika itu.
2. Buku selalu penuh Imajinasi. Pernah tidak kalian membayangkan bagaimana bentuk sekolah Harry Potter ketika membaca novelnya sebelum di filmkan ? membayangkan bentuk sapu terbangnya dan membayangkan penyihir cilik itu berputar-putar dengannya ? Nah, kalau kalian pernah membayangkannya, maka itulah asyiknya membaca buku. Kita jadi orang yang kaya dengan imajinasi dan otomatis akan merangsang kita untuk mengembangkan ide-ide kreatif. 
3. Buku punya bahasan yang lengkap. Dalam buku, kalian bisa mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang topik yang kamu ingin kalian tahu. Kalau menonton televisi atau browsing di internet, topik yang ditampilkan seringkali masih ada di kupsan luar, tidak mendalam, dan diambil hanya dari satu sudut pandang saja. Nah, disinilah dikatakan buku adalah jendela dunia. Kamu akan tahu apa saja tentang suatu topik kalau membaca di buku. Contohnya kita mau tahu tentang bagaimana cara menulis buku yang keren, kamu akan mendapat jawabannya dari A – Z dalam buku yang mengupas tentang bagaimana menulis. Kalau lupa atau tidak mengerti, kamu bisa baca puluhan kali halaman yang memuat topik itu. 4. Buku mudah dibawa. Coba bayangkan kalian harus membawa televisi kemanapun ? berat kalee… meski kini sudah ada HP yang dilengkapi fasilitas untuk menangkap siaran televisi dan bisa akses internet langsung, tetap saja masih mahal. Buku bisa kita bawa kemanapun, dibaca dimana saja, dan tidak ketakutan dicopet.
5. Baca nuku lebih santai. untuk membaca sesuatu di website lebih dari satu jam waktu yang diperlukan. membuat badan pegal-pegal dan juga membosankan, Beda dengan membaca buku yang bisa di tutup sebentar, terus dilanjutkan lagi beberapa menit kemudian kalau sudah hilang pegalnya. Kalau membaca diinternet terus ditinggal begitu, pasti yang akan terbayang adalah mahal nya harga untuk membayar sambungannya atau kalau di warnet mahal bayar billingnya. begitu juga kasusnya dengan menonton televisi. Kalau sedang mengantuk nonton televisi pasti tidak akan bisa ditinggal, ada juga kalau ditinggal jadi keburu selesai. sudah begitu selesai menonton televisi biasanya akan menjadi ngantuk dan malas mengerjakan tugas atau pekerjaan lain. Wah, yang yang seperti ini akan membuat kita tidak produktif dan membuat otak tumpul.
6. Buku bisa mendatangkan kenalan yang Cute. Kalau menonton televisi or bioskop kalian akan sibuk sendirian, apalagi kalau sedang connect di internet. Di toko buku kalian bisa sekalian jalan-jalan dan cuci mata dan bisa lihat “barang bagus” yang kali aja bisa jadi sobat baru kita (asal jangan sampai kebablasan pacaran ya! hehehe). Waks, ternyata banyak sekali manfaat dan kelebihan buku dibanding televisi, radio, or internet! nah, dari pada kalian ketinggalan dan jadi ornag yang gak nyambung ketika teman-teman kalian sibuk membicarakan hal-hal canggih yang mereka dapatkan dari buku, mending dari sekarang kalian juga ikut membaca buku.


Selasa, 10 Juli 2012

The Twilight (prolog) by: Stephenie Meyer


Prolog

Aku tidak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku akan mati—meskipun aku punya cukup alasan beberapa bulan terakhir ini—tapi kalaupun memiliki alasan, aku tak pernah membayangkan akan seperti ini.
Aku menatap ruangan panjang itu tanpa bernafas, ke dalam mata gelap sang pemburu, dan ia balas menatapku senang.
Tentunya ini cara yang bagus untuk mati, menggantikan orang lain, orang yang kucintai. Bahkan mulia. Mestinya itu berarti sesuatu.
Aku tahu jika aku tak pernah pergi ke Forks, aku takkan berhadapan dengan kematian sekarang. Tapi seperti yang kutakutkan, aku tak menyesali keputusan itu. Ketika hidup menawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidak masuk akal untuk menyesalinya bila impian itu berakhir.
Sang pemburu tersenyum bersahabat saat ia melangkah untuk membunuhku.

Senin, 09 Juli 2012

Summer in Seoul Bab 1a




 “SEKARANG aku masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga tahu sekarang sudah jam sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah.”

Sandy melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan kecil merah. Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan mengerutkan kening. Saat ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah Lee Jeong-Su, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti kekasih yang protektif.

“Jeong-Su, sudah dulu ya? Aku lelah sekali,” Sandy menyela ucapan Lee Jeong-Su dan langsung menutup telepon. Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap ponselnya dengan kesal.

Kenapa hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan? Tadi pagi ia sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian diomeli atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.

Sandy semakin kesal begitu mengingat apa yang sudahdialaminya sepanjang hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir. Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang.

Ini bukan pertama kalinya Sandy harus bekerja sampai larut malam, tapi hari ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana itu. Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.

Ia berhenti melangkah dan mendesah. “Bisa gila aku,” gumamnya pada diri sendiri. Sandy memandang sekelilingnya. Kota Seoul masih belum menunjukkan tandatanda mengantuk. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlombalomba menerangi seluruh kota, membujuk orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Sandy masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu disko terdengar samarsamar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang yang berbicara, berteriak, dan tertawa.

Tiba-tiba Sandy merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam, “Baiklah,” seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.

Sandy menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin dilakukan sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan masuk ke toko itu. Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang sudah lama dikenalnya, Sandy langsung berjalan ke rak keripik.

“Nah, Soon-Hee, ada masalah apa lagi di kantor?” tanya bibi pemilik toko setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan Sandy di meja kasir.

 Sandy tersenyum malu. “Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres.” Ia membuka tas tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu? “Sebentar, Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…” Sandy mengaduk-aduk aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir. Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, buku kecil yang agak lusuh, bolpoin yang tutupnya sudah hilang, bedak padat, lipgloss, kunci, payung lipat, tiga keping uang logam, saputangan merah, ponsel, dua lembar struk belanja yang yang sudah kusam, bungkus permen kosong, dan jepitan rambut. “Kenapa tidak ada?” Sandy bergumam sendiri sambil terus mencari. Ketinggalan di rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa dompet? Tiba-tiba ia mendengar dering ponsel. Sandy melirik ponselnya yang tergeletak di meja kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi.

“Kau sudah sampai di rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana.”

Sandy menoleh ke arah suara bernada rendah itu. Suara itu milik pria bersetelah putih yang berdiri di belakangnya. Rupanya bunyi tadi adalah bunyi ponsel pria tersebut. Sekarang Sandy melihat orang itu menutup ponsel dan memasukkannya ke saku celana panjangnya. Sebelah tangannya memegang keranjang kecil berisi lima botol soju*. Pria berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi sekali seperti seseorang yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan besar.

Pria itu memandang Sandy, lalu tersenyum ramah. O-oh. Baru pertama kali Sandy melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa lelahnya seakan menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan, sangat…

Sandy menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan perhatian pada barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.

Tiba-tiba Sandy merasa tangannya ditepuk-tepuk. Ia mengangkat wajahnya dan melihat bibi pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata,

“Soon-Hee, bagaimana kalau tuan itu membayar belanjaannya duluan?” Sandy memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang berdiri di belakangnya. “Oh, ya. Maaf.” Sandy menyingkir ke samping dan pria itu melangkah maju.

“Berapa?” tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang dipegangnya di meja. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel lagi.

Kepala Sandy mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah sangat lelah dan sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas kendali.

Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya sekilas. Lalu ia meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah lagi. Ia mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah yang sedang berbunyi nyaring.

Astaga, cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin pusing, kenapa harus punya dua? pikir Sandy sambil memijat-mijat pelipisnya.

Pria itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu berjalan ke pintu. Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang tadi diletakkan di meja kasir. “Maaf,” gumamnya sambil tersenyum kepada bibi pemilik toko dan Sandy.

Lagi-lagi senyum itu, senyum yang bisa menghangatkan hati yang beku sekalipun. Tunggu, kata-kata apa itu tadi? Sandy memejamkan matanya kuat-kuat dan ketika ia membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk ke mobil sedan putih yang diparkir di depan toko.

Karena Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik toko mengizinkannya membayar besok. Sandy mengumpulkan kembali barang-barangnya yang berserakan di meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda terima kasih sekaligus permintaan maaf.

*Sejenis minuman keras khas Korea.

          Begitu keluar dari toko, Sandy langsung membuka sebungkus keripik dan mulai makan. “Sekarang pulang ke rumah,” katanya pada dirinya sendiri.

Selesai berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia mengutuk hari ponsel diciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya karena merasa harus menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak tahu diri itu terus menjerit minta diangkat. Akhirnya Sandy menyerah dan mengaduk-aduk tasnya dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu sebelum ia sendiri yang bakal menjerit histeris di tengah jalan.

“Haaloo!” Sandy ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa. Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?.

“Halo? Siapa ini? Silakan bicara… Halo? HALOO?” Sandy baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang pria yang ragu-ragu di seberang sana.

“Maaf… bukankah ini ponsel Tae-Woo?”

Siapa lagi orang ini?

“Anda salah sambung. Ini ponsel Han Soon-Hee,” ujar Sandy ketus dan langsung menutup flap ponselnya dengan keras. Sandy menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol. “Tidak bisakah kaubiarkan aku tenang sedikit?” Ia baru akan mencabut baterai ponsel itu ketika ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia akan segera sampai di rumah. Walaupun Sandy tinggal di Seoul dan orangtuanya di Jakarta, mereka sering menelepon dan mengecek keberadaannya. Tadi ibunya malah sudah sempat menelepon untuk menanyakan kenapa Sandy belum sampai di rumah.

Ia membuka ponselnya kembali dan menekan angka satu yang akan langsung terhubung ke rumah orangtuanya di Jakarta, tapi ia heran ketika melihat tulisan yang tertera di layar ponselnya setelah ia menekan angka itu. Bukan tulisan “Rumah Jakarta” yang tertera seperti biasa, tapi nama “Park Hyun-Shik”. Sandy cepat-cepat memutuskan hubungan dan tertegun.

Sandy memerhatikan ponsel yang dipegangnya. Memang itu ponsel miliknya, setidaknya bentuk dan warnanya sama persis dengan ponsel miliknya. Ia membuka daftar telepon di ponselnya dan melongo melihat nama-nama yang tidak dikenalnya. Otaknya yang sudah lelah dipaksa berpikir.

Tadi di toko bibi itu, semua barangnya berserakan di meja kasir, termasuk ponselnya. Ketika ponsel milik pria yang berdiri di belakangnya tadi berbunyi untuk pertama kali, ia mengira ponselnya sendiri yang berbunyi karena dering ponsel mereka sama.

Kemudian ponsel kedua pria itu berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Sandy.

Sandy teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang sama dengan bentuk ponselnya sendiri. Sebelum keluar dari toko, pria itu berbalik untuk mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Sandy memegang ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.

Otaknya mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya… artinya.....



To Be Continiued... 



Summer in Seoul (prolog) by: Ilana Tan

Summer in Seoul




For those who always believe in me, thank you….
 Prolog
Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku? Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku? Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku? Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
Tak tahu kelak ataupun dulu Cuma tahu kini aku begini Cuma tahu kini aku di sini Dan kini aku melihatmu
KONON ketika seseorang dalam keadaan hidup dan mati, ia akan bisa melihat potongan-potongan kejadian dalam hidupnya, seperti menonton film yang tidak jelas alur ceritanya. Benarkah begitu?
Oh ya, ia sedang mengalaminya. Ketika tubuhnya terlempar ke sana-sini, pandangannya mendadak gelap, namun anehnya ia kemudian bisa melihat wajah seseorang dengan jelas. Ia juga bisa mendengar suaranya.
Betapa ia sangat merindukannya sekarang, ingin bertemu dengannya, ingin berbicara dengannya. Ada yang harus ia katakan pada orang itu. Ia harus memberitahunya
Hanya sekali saja…
Kalau boleh, ia ingin mengatakannya sekali saja…
Kalau boleh, ia ingin melihatnya sekali saja…
Tapi tidak bisa… Suaranya tidak bisa keluar…
Ia tidak punya tenaga untuk bicara…